Dalil Tahlilan Menurut Islam, 7 40 100 1000 Hari?
Monday, 19 February 2018
Add Comment
Sebuah tulisan yang bagus tentang tahlilan yang sering menjadi perdebatan di kalangan umat islam. Di ambil dari komentar dalam video ceramah ustadz adi hidayat
Dilihat dari kronologi sejarah tahlilan, sebetulnya awalnya "dzikir-dzikir umum" yang pada zaman dahulu sudah lazim jadi wiridan (bacaan kalimah dzikir). Kemudian dimanfaatkan Walisongo untuk "alat" atau "sarana" syiar menyebarkan agama Islam dengan mengganti "mantera-mantera" selamatan (permohonan roh kepada nenek moyang atau dewa) diganti dengan "kalimat-kalimat tauhid" (dzikir-dizkir). Pada perkembangannya semua upacara adat doanya sudah tidak lagi menggunakan mantera-mantera atau memohohon arwah leluhur tetapi sudah bergeser dengan kalimat-kalimat tauhid yang ada dalam tahlilan itu mulai dari upacara pernikahan, sunatan, syukuran, mendirikan rumah dll (di desa-desa sampai sekarang klo mau ada hajatan nikah atau hajat apa saja malem harinya sebelum hari H minta doa orang banyak/masyarakat dengan baca tahlil itu). Yang aneh kok sekarang opini yang menonjol (terbentuk?) ---- tahlilan menjadi "selalu dihubungkan" dengan orang meninggal ya?
Jangankan mantera-mantera diganti dengan kalimat tauhid tahlil -- tempat ibadah kita (masjid) -- bentuknya tidak seperti sekarang -- bentuk masjid kuno (zaman dulu di Nusantara semua masjidnya pasti bentuknya atap tumpang menyesuaikan unsur lokal (bahkan ada masjid yang masih menggunakan bekas pura Hindu seperti di Menara Kudus Jawa Tengah Masjid Sunan Kudus dan Masjid Sendang Duwur di Tuban) -- ini perpaduan dengan budaya lokal atau Hindu untuk mengesankan bahwa Islam itu “ramah”, "toleran" dan universal gitu kali ya.. agar bisa diterima masyarakat.
Dengan KEARIFAN LOKAL tidak serta merta mengharamkan segala sesuatu yang berbeda, bahkan kalau bisa digunakan sebagai “sarana” atau “alat syiar”. Contohnya sudah diuraikan diatas seperti yang dilakukan Walisongo, upacara adat mantera-manteranya diganti dengan kalimat tauhid (dzikir-dzikir) seperti tahlilan itu. Atau bahkan Sultan Agung bagaimana menarik rakyatnya agar beragama Islam dengan menciptakan Kalender Jawa dari paduan Kalender Hijriyah (Islam) dengan Kalender Caka (Hindu).
Sebaliknya kalau kita TIDAK MENGGUNAKAN KEARIFAN LOKAL misalnya tiba-tiba dakwah di masyarakat pelosok desa-desa itu tradisi-tradisinya kita babat atau dibumihanguskan dengan mengatakan syirik, bid`ah, masuk neraka -- dijamin 100% mereka tersinggung dan menentang. Kalau sudah begini ADA DUA KERUGIAN, pertama harusnya bisa diajak ke agama tauhid tetapi malah menjadi antipati (membenci) agama kita (wis ora keno iwake, buthak banyune). Kedua, citra agama kita juga menjadi jelek karena ulah kita, mereka ganti membalas merasa kepercayaan mereka disalahkan— karena kita terlanjur “menyalahkan” menjelekkan keyakinan mereka --- sehingga ganti dibalas keyakinan kita (Islam) yang kena getahnya nama Islam jadi jelek dikesankan oleh masyarakat. Persinggunggan demikian sering terjadi di masyarakat-masyarakat pedesaan (tradisional), tidak hanya di Jawa bahkan nyaris merata di pelosok-pelosok nusantara masa lalu (bahkan mungkin sampai sekarang).
Tahlilan dianggap memiliki nilai ibadah sebagai amalan atau bacaan kalimah dzikir yang waktu dan tata caranya "tidak mengikat" (asal tidak kondisi hadats), tidak seperti shalat sebagai dzikir yang bersifat mengikat (syarat, rukun, waktu, dan jumlah rakaatnya sudah ditentukan).
Sebetulnya kalau ditelusuri sumbernya atau sejarah "tahlilan" asalnya dari dzikir-dzikir umum yang dicari di kitab-kitab hadits tentang (Bab) Dzikir banyak ditemukan bacaan dzikirnya. Ada yang membacanya setiap hari, ada yang setiap malam Jum`at (dengan pertimbangan keutamaan dalil Hari Jum`at, biasanya juga berjama`ah). Nilai syiarnya justru berjamaah itu kalau di desa-desa, biasanya karena kumpul-kumpul demikian. Lalu kalau di desa-desa itu kan masih sarat dengan upacara-upacara adat ya dari pernikahan, sunatan, kekahan (aqiqoh) dll – tuan rumah “memanfaatkan” (mengunduh) majlis dzikir tahlilan sebagai minta doanya orang banyak (masyarakat).
Kesan paling parah (salah kaprah?) adalah bila di “unduh” (dimanfaatkan) keluarga yang baru meninggal atau dihubungkan dengan “orang meninggal” sehingga kesannya tahlilan itu untuk orang meninggal. Yaitu digunakan untuk mendoakan dengan mengirim sedekah (shadaqah) pahala bacaan-bacaan istighfar (mohon pengampunan), tasbih, tahlil, dll dikirimkan sebagai hadiah pahalanya untuk yang sudah meninggal.
Tentang "DALIL- DALIL" hadiah sedekah pahala (kirim pahala) kepada orang tua yang sudah meninggal dalam bacaan kalimah dzikir tahlilan biasanya digunakan :
Kisah-1; “Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata: Ibuku telah mati mendadak, dan tidak berwasiat dan saya kira sekiranya ia sempat bicara, pasti akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika Aku bersedekah untuknya? Jawab Nabi saw: Ya.’ (HR.Bukhori, Muslim dan Nasa’i)
Kisah-2; “Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah saw.: ‘Ayah saya meninggal dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?’ Nabi saw. menjawab : Dapat!” (HR Ahmad, Muslim dan lain-lain).
Kisah-3; “Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia : ‘Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ibuku telah wafat disaat aku sedang tidak ada disisinya, apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan? Nabi menjawab; Ya ! Berkata Sa’ad bin Ubadah : Saya persaksikan kepadamu (wahai Rasulallah) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu sebagai sedekah untuknya’.” (HR Bukhori, Turmudzi dan Nasa’i)
Kisah-4; “Bahwa Nabi saw.pernah mendengar seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah itu? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum! Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah (pahalanya) untuk Syubrumah ! ”. (HR.Abu Daud).
Kisah-5; Kisah dua anak yatim dari orangtua yang sholeh, sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82. Itu pun sepenuhnya merupakan manfaat yang diperoleh dari orang lain, bukan dari amal kebajikan dua anak yatim itu sendiri.
Kisah-6; Rasulallah saw menangguhkan sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan berhutang hingga hutangnya dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh Qatadah ra dan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Itupun merupakan kenyataan bahwa manfaat dapat di peroleh dari amal kebajikan orang lain.
Kisah-7; Anak-anak orang mukmin (yang wafat dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang mukmin) dan ini juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang lain. (QS at-Thur : 21).
Kisah-8; Orang yang duduk dengan ahli dzikir akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk dzikir melainkan untuk keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah).
Kisah-9; Shalat untuk mayyit (baca: sholat jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah pemberian syafa'at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga pengambilan manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup.
Kisah-10; Para periwayat hadits seperti Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dengan judul Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit). Imam An Nasa’i dalam kitab Sunannya memasukkan hadits ini dengan judul Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit). Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya dengan judul Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit).
Kisah-11; disebutkan Nabi SAW pernah melewati kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya dua mayat ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya, sedang yang lainnya ia dahulu suka mengadu domba”. Kemudian beliau meminta pelepah kurma yang masih basah dan dibelahnya menjadi dua. Setelah itu beliau menancapkan salah satunya pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya bersabda: “Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering”(HR. Bukhari , Muslim). Bukankah di al-Quran juga disebutkan bahwa tumbuh-tumbuhan itu selalu bertasbih kepada Allah hanya manusia tidak mendengarnya? Pengarang Tafsir al-Qur`an Al-Qurthubi mengatakan : “Ulama kita menjelaskan, kalau tasbihnya kayu saja (pelepah kurma) dapat meringankan azab kubur (bermanfaat kepada mayat), maka apalagi bacaan al-qur’an yang dilakukan oleh seorang mukmin?.”
Kisah-12; “Sesungguhnya setiap tasbih adalah sadaqah, setiap takbir sadaqah, setiap tahmid sadaqah dan setiap tahlil adalah sadaqah. (H.R. Muslim).
Bukankah dalam tahlilan itu isinya mencakup semuanya: ya shadaqoh harta yang dikeluarkan, ya shadaqoh bacaan Quran, ya shadaqah bacaan tasbih, takbir, tahmid, tahlil dll???
0 Response to "Dalil Tahlilan Menurut Islam, 7 40 100 1000 Hari?"
Post a Comment