TENDA BIRU Kabupaten Bekasi
Friday, 20 March 2015
 “Malvinas” dan “Tegal Danas” atau beberapa tempat 
“remang-remang” di kabupaten Bekasi. “Tenda Biru” ini 
memang sudah masuk dalam kondisi yang mengkhawatirkan, karena di era 
industri saat ini virusnya sudah merambah dunia pelajar. 
 
Penelitian dilakukan dengan secara berangkai. Satu responden diminta menunjukkan kawannya yang lain untuk diwawancarai. Penuturan seorang responden yang duduk di kelas III SMP di kota Medan, kata Sofian, di kelasnya saja ada 15 temannya yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, bahkan yang tua bangka alias tubang, istilah anak-anak itu menyebut pelanggan mereka yang berusia rata-rata 30-50 tahun. Yang mengejutkan, ternyata para pelajar itu banyak yang melakukan kegiatan pelacuran pada siang hari. Perbandingannya, lima anak ‘menggelar praktek’ pada antara pukul 3 hingga pukul 6 sore, dan 1 anak pada malam hari.
Masalah pelacuran pelajar sekolah memang menjadi masalah khas kota besar. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, ratusan pelajar putri terjun ke dunia pelacuran.  Bahkan, sebanyak 30 %  pelajar
 di Kota Sukabumi, Jawa Barat, diduga telah melakukan pergaulan intim bebas. Hal 
ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh dinas kesehatan 
setempat. Umumnya, para remaja ini menganggap prilaku hubungan suka sama suka yang bebas sebagai
 gaya hidup atau bagian dari pergaulan. Sekretaris
 Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD) dr Rita Fitrianingsih 
mengatakan, perilaku   ini telah melibatkan pelajar yang bukan 
hanya berasal dari tingkat SMU saja tapi juga kalangan pelajar SMP. 
Jumlah tersebut baru merupakan angka hasil penelitian. Diperkirakan angka sesungguhnya jauh lebih banyak. Angka
 ratusan merupakan hasil penelitian lembaga Pusat Kajian dan 
Perlindungan Anak (PKPA). Penelitian yang didukung Kementerian 
Pemberdayaan Perempuan itu juga menyimpulkan, ratusan pelajar putri 
berstatus siswi SMP dan SMA/SMK yang terlibat prostitusi itu, bagian dari sekitar 2 ribu anak korban Eksploitasi Esek2 Komersial Anak (ESKA). “Dari
 pengakuan para responden, di sekolahnya terdapat kawan-kawan yang juga 
terlibat dalam bisnis pelacuran. Jumlahnya variatif antara 30 hingga 60 
orang. Dari jumlah inilah muncul angka itu. Tapi angka pastinya, tentu 
sulit didapat,” kata Ahmad Sofian, Direktur PKPA Ahmad Sofian.
Penelitian dilakukan dengan secara berangkai. Satu responden diminta menunjukkan kawannya yang lain untuk diwawancarai. Penuturan seorang responden yang duduk di kelas III SMP di kota Medan, kata Sofian, di kelasnya saja ada 15 temannya yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, bahkan yang tua bangka alias tubang, istilah anak-anak itu menyebut pelanggan mereka yang berusia rata-rata 30-50 tahun. Yang mengejutkan, ternyata para pelajar itu banyak yang melakukan kegiatan pelacuran pada siang hari. Perbandingannya, lima anak ‘menggelar praktek’ pada antara pukul 3 hingga pukul 6 sore, dan 1 anak pada malam hari.
Diterangkan
 Sofian, faktor yang membuat anak-anak perempuan yang dalam pengetahuan 
orang tua mereka anak yang rajin sekolah, anak rumahan dan penurut 
dengan nasihat orang tua itu, PKPA mencatat sebagian besar faktor 
eksternal mereka adalah gadis-gadis sudah berpacaran di luar batas atau 
dikecewakan pacar (18 %) dan konsumerisme, yakni ingin ikut gaya hidup mewah seperti punya handphone, baju bagus dan sebagainya (8 %). Kemudian, faktor penyebab langsung adalah diajak teman (24 %) disusul karena memakan uang sekolah (6 %) dan faktor pemicu lain adalah karena sudah tidak perawan lagi.
“Kami menemukan modus baru dalam bisnis pelacuran pelajar ini,
 yaitu pulang sekolah tidak pulang ke rumah tetapi dibawa ke hotel. 
Untuk meyakinkan orang tua, teman-temannya ikut meminta izin dengan 
dalih mengajak renang atau jalan-jalan, sehingga orang tua anak tidak 
curiga,” ujar Ahmad Sofian. Menurutnya lagi, awalnya bisnis pelacuran di kalangan pelajar ini
 bisa masuk ke sekolah berawal dari satu anak di satu kelas, kemudian 
menular dan menggurita ke sekolah-sekolah lain. Teman curhat dan 
informasi yang salah mendorong anak menjual dirinya demi mendapatkan 
uang. Kehidupan malam, pacaran yang melewati batas, dan kebingungan 
mengatasi masalah ekonomi dan sosial membuat anak-anak terjerembab 
menjadi korban ESKA.
Mengenai
 bayaran, kata Sofian, sangat variatif. Dari penuturan 5 siswi yang 
sudah menjalani ‘profesi’ ini lebih dari setahun, dikatakan, kalau PW 
istilah yang merupakan singkatan dari kata pecah perawan, Rp 2 - Rp 5 juta, kalau short time, Rp 200 -
 Rp 800 ribu. Cara pembayarannya, sebagian besar dibayar langsung dan 
dititip melalui teman. Pelanggannya selain warga lokal, juga sejumlah 
warga negara asing. PKPA memperkirakan, jumlah anak korban Eksploitasi 
Esek2 Komersial Anak (ESKA) saat ini telah mencapai 2000 secara merata
 di seluruh kota di Indonesia, jumlah ini sangat estimatif, karena 
sulitnya mendata secara pasti fenomena gunung es ini.
Penelitian di Indramayu.
Penelitian di Indramayu, di sejumlah desa, pelacuran dipandang sebagai bentuk perkejaan yang normal, dan dipandang sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.
 Hidup didunia pelacuran ditandai dengan kemampuan mendapatkan uang 
dalam jumlah yang besar dengan cara relatif lebih cepat dibanding jenis 
pekerjaan lainnya, yang tidak memerlukan
 pendidikan formal. Akibatnya, sungguh sulit bagi mereka yang sudah 
masuk dalam pelacuran untuk keluar dan mencari jenis pekerjaan 
altenatif/pengganti yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan 
ketrampilan yang mereka miliki, atau yang dapat menandingi jumlah 
pendapatan mereka ketika bekerja sebagai pekerja prostitusi komersial.
Faktor penyebab yang mendorong mereka
 jatuh menjadi korban pelacuran sangat erat terkait dengan pendidikan 
yang di berikan oleh keluarganya, yang membentuk pola perilaku 
seseorang. Ketidakmampuan suatu keluarga untuk melakukan 
fungsi-fungsi/tugas yang seharusnya mereka penuhi, khususnya tugas/fungsi memberikan perlindungan dan kasih sayang, serta pendidikan dan sosialisasi anak.
Faktor-faktor yang memberikan konteribusi dan mendorong masuknya anak–anak ke dalam dunia pelacuran, meliputi:
·         Tradisi kawin usia muda dan mudahnya perceraian
·         Kuatnya
 kepercayaan bahwa hubungan badan dengan anak yang masih perawan dapat 
membuat laki-laki awet muda dan meningkatkan kejantanan
·         Fenomena migrasi desa-kota yang dilakukan oleh tenaga kerja tak terdidik
·         Gaya hidup perkotaan yang konsumtif
·         Hidup yang hanya memikirkan saat ini saja tanpa memikirkan masa depan
Penyebab utama anak-anak jatuh ke dunia pelacuran yang didentifikasioleh anak adalah masalah-masalah ekonomi. Penyebab lainnya termasuk di antara rumah tangga yang tidak harmonis, pengaruh teman-teman, masalah –masalah pacarnya,,dan kebutuhan hubungan badan/biologis.
Mereka
 biasanya memiliki gaya hidup yang sangat konsumtif dan memiliki 
pandangan yang pendek tentang hidup. Di Indramayu, sebagian besar mereka adalah anak – anak yang
 biasanya berada dalam tataran terbawah dalam sektor pertanian, yang 
berarti bahwa kebanyakan anggota keluarganya bekerja sebagai buruh tani 
yang tidak memiliki tanah. Bahkan sebagian
 berfikir bahwa pelibatan anak-anak mereka dalam pelacuran hanya 
merupakan fenomena yang bersifat sementara, sesuatu yang memang perlu 
dalam upaya mengumpulkan cukup uang untuk memperbaiki taraf hidup,
 atau merenovasi rumah keluarga, atau membangun rumah permanen (dari 
batu-bata). Meskipun demikian, sebagian anak korban pelacuran merasa 
bertanggung jawab atas keadaan ekonomi keluarga. Sejumlah orang tua 
“memanfaatkan” perasaan seperti ini dengan mengijinkan anak-anak mereka 
untuk bekerja di industri esek2, dan menerima kiriman uang bulanan dari anak-anaknya. Orangtua dari anak-anak yang terlibat dalam pelacuran ini
 sering memiliki sikap yang ambivalen berkenaan dengan uang yang berasal
 dari pekerjaan seperti itu, namun pada saat yang sama mereka menyadari 
bahwa pelacuran bertentangan dengan norma umum yang berlaku dan ajaran 
agama mereka. Mereka juga merasa malu dalam bergaul/berurusan dengan 
masyarakat, tetapi tetap mengijinkan anak-anaknya untuk terus bekerja 
sebagai penjaja esek2 komersial karena sumbangan ekonomis yang diberikan 
oleh anak-anaknya sangat signifikan bagi kehidupan rumah tangganya. 
Dalam pekerjaanya sebagai pelacur, anak-anak ini
 biasanya menetapkan target yang jelas untuk mereka sendiri. Mereka 
gigih mengumpulkan uang untuk menjamin peningkatan materi bagi mereka 
sendiri dan keluarganya, misalnya, menbangun rumah, membuka salon 
kecantikan, atau toko/kios kecil-kecilan. Jadi, keterlibatan mereka 
dalam pelacuran, hanya merupakan batu loncatan bagi kehidupan yang lebih
 baik di masa mendatang.
Sering,
 anak-anak yang bekerja dalam pelacuran tanpa sepengetahuan orangtuanya,
 mengatakan kepada orang tuanya bahwa mereka bekerja di toko atau salon 
potong rambut. Namun demikian, ketika orangtuanya tahu bahwa anak mereka
 bekerja sebagai pelacur, mereka tidak akan mengaku bahwa anak-anak 
mereka terlibat dalam pelacuran. Hanya belakangan, ketika orangtua 
didekati, para orangtua ini mengakui pekerjaan anak-anak mereka yang 
sebenarnya.    
Peran
 kawan-kawan lama dalam mendorong anak-anak agar terlibat dalam dunia 
pelacuran ternyata sangat signifikan. Banyak anak perempuan dibujuk 
untuk menjadi pelacur setelah melihat kawan-kawan mereka mendapatkan 
uang dengan cepat dari pelacuran, mengamati gaya hidup yang penuh glamor
 dan melihat mereka mengambil tanggung jawab atas nasibnya sendiri.