Istri Diancam Dosa Karena Tak Mau Melayani Suami Padahal Ia Bisa, Bagaimana bila sebaliknya?
Wednesday, 18 February 2015
Hal yang harus dipahami terkait dengan ancaman bagi wanita yang menolak diajak bersenggama oleh suaminya adalah bahwa ini masuk dalam bab diwajibkannya seorang istri bersikap patuh pada suami, selama bukan dalam maksiat.
Dalam hadits disebutkan,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka hendaknya istri mendatanginya, meskipun ia sedang berada di hadapan tungku.” [1]
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke kasur (untuk bersenggama), lalu si istri menolak, maka para malaikat akan melaknatnya hingga datang waktu Shubuh.” [2]
Karena memang akad pernikahan bagi seorang wanita muslimah adalah janji ketaatan kepada Allah, kemudian kepatuhan pada suami. Sehingga Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– pernah berkata kepada seorang istri, saat wanita itu menjelaskan pelayanannya terhadap suaminya selama ini,
انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah, sebatas apa pelayananmu terhadapnya. Karena ia adalah Surgamu atau Nerakamu.” [3]
Artinya, hadits ini bukan berbicara soal bahwa kebutuhan seks yang wajib dipenuhi oleh pasangan itu hanyalah kebutuhan suami saja. Ini terkait soal kewajiban istri patuh pada suami dalam hal yang dihalakan oleh Allah.
Persoalan ini harus dipisahkan dengan konsep luas bahwa masing-masing pasutri harus berusaha memberi kebahagiaan bagi yang lain.
Seperti halnya rakyat yang harus taat kepada pemimpin, itu sama sekali berbeda dengan soal kewajiban masing-masing untuk menyejahterakan yang lain. Bahkan ada konsep dalam Islam bahwa pemimpin yang baik adalah yang pertama kali lapar saat paceklik dan terakhir kali kenyang dalam kemakmuran.
Suami memang tidak diancam seperti halnya istri saat ia tidak melayani kebutuhan seks istri, pada saat istri memintanya. Karena ancaman seperti itu berkaitan dengan konsep kepatuhan. Suami tak “diplot” untuk taat kepada istri. Tapi, itu bukan berarti si suami tidak berdosa saat mengabaikan kebutuhan istri. Karena dosa itu muncul melalui prosedur yang lain, yaitu kewajiban suami membahagiakan istri dan anak, juga konsep kewajiban suami menjaga anak dan istri dari jilatan api Neraka. Ini bukan main-main!
Soal kewajiban suami membahagiakan istri amatlah jelas. Perhatikan saja hadits yang sangat populer,“Hendaknya engkau memberi makan istrinya sebagaimana yang kamu makan, memberinya pakaian sebagai mana yang kalian kenakan…”
Begitu juga kebutuhan tempat tinggal, seks dan yang lainnya. Bila kebutuhan seks istri terabaikan, maka si suami bertanggung jawab di hadapan Allah. Berarti ia telah menzhalimi rakyatnya. Ancamannya jelas-jelas neraka.
Selain itu, ini juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bila tak terpenuhi bisa berakibat seseorang bermaksiat. Bila suami membiarkan istri tak memenuhi hasrat seksualnya, lalu karena itu si istri bermaksiat, maka si suami turut menanggung dosanya di hadapan Allah. Ini juga bukan hal main-main.
Sehingga, pada akhirnya akan sama saja hukumnya –kalau tak bisa dibilang lebih berat– antara istri yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks suaminya, dengan suami yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks istrinya. Meski ancamannya berasal dari konteks yang berbeda. Wallaahu A’lam.
Dalam hadits disebutkan,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka hendaknya istri mendatanginya, meskipun ia sedang berada di hadapan tungku.” [1]
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke kasur (untuk bersenggama), lalu si istri menolak, maka para malaikat akan melaknatnya hingga datang waktu Shubuh.” [2]
Karena memang akad pernikahan bagi seorang wanita muslimah adalah janji ketaatan kepada Allah, kemudian kepatuhan pada suami. Sehingga Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– pernah berkata kepada seorang istri, saat wanita itu menjelaskan pelayanannya terhadap suaminya selama ini,
انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah, sebatas apa pelayananmu terhadapnya. Karena ia adalah Surgamu atau Nerakamu.” [3]
Artinya, hadits ini bukan berbicara soal bahwa kebutuhan seks yang wajib dipenuhi oleh pasangan itu hanyalah kebutuhan suami saja. Ini terkait soal kewajiban istri patuh pada suami dalam hal yang dihalakan oleh Allah.
Persoalan ini harus dipisahkan dengan konsep luas bahwa masing-masing pasutri harus berusaha memberi kebahagiaan bagi yang lain.
Seperti halnya rakyat yang harus taat kepada pemimpin, itu sama sekali berbeda dengan soal kewajiban masing-masing untuk menyejahterakan yang lain. Bahkan ada konsep dalam Islam bahwa pemimpin yang baik adalah yang pertama kali lapar saat paceklik dan terakhir kali kenyang dalam kemakmuran.
Suami memang tidak diancam seperti halnya istri saat ia tidak melayani kebutuhan seks istri, pada saat istri memintanya. Karena ancaman seperti itu berkaitan dengan konsep kepatuhan. Suami tak “diplot” untuk taat kepada istri. Tapi, itu bukan berarti si suami tidak berdosa saat mengabaikan kebutuhan istri. Karena dosa itu muncul melalui prosedur yang lain, yaitu kewajiban suami membahagiakan istri dan anak, juga konsep kewajiban suami menjaga anak dan istri dari jilatan api Neraka. Ini bukan main-main!
Soal kewajiban suami membahagiakan istri amatlah jelas. Perhatikan saja hadits yang sangat populer,“Hendaknya engkau memberi makan istrinya sebagaimana yang kamu makan, memberinya pakaian sebagai mana yang kalian kenakan…”
Begitu juga kebutuhan tempat tinggal, seks dan yang lainnya. Bila kebutuhan seks istri terabaikan, maka si suami bertanggung jawab di hadapan Allah. Berarti ia telah menzhalimi rakyatnya. Ancamannya jelas-jelas neraka.
Selain itu, ini juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bila tak terpenuhi bisa berakibat seseorang bermaksiat. Bila suami membiarkan istri tak memenuhi hasrat seksualnya, lalu karena itu si istri bermaksiat, maka si suami turut menanggung dosanya di hadapan Allah. Ini juga bukan hal main-main.
Sehingga, pada akhirnya akan sama saja hukumnya –kalau tak bisa dibilang lebih berat– antara istri yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks suaminya, dengan suami yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks istrinya. Meski ancamannya berasal dari konteks yang berbeda. Wallaahu A’lam.