Si Murtad Halal Untuk di Bunuh ?

Benarkah si Murtad halal untuk di bunuh ?

Di tengah heboh berita Lukman Sardi murtad, ada sejumlah orang yang menegaskan bahwa orang murtad halal dihukum mati. Mereka mendasarkan diri pada hadits “Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia (man baddala dinahu faqtuluhu).” Mereka juga mengklaim bahwa para ulama klasik sepakat tentang hukuman mati buat si murtad.
Seberapa meyakinkankah pandangan tersebut? Saya punya sejumlah keberatan:
Pertama, tidak betul bahwa ahli-ahli hukum Islam (fuqaha) telah bersepakat dalam soal hukuman mati untuk orang murtad. Telaah yang dilakukan oleh Mohammad Hashim Kamali, profesor hukum Islam pada International Islamic University of Malaysia, terhadap literatur fiqh dan hadits tentang hukum apostasy (irtidad) dalam Islam setidaknya membantah adanya ijma’ (konsensus) para ulama dalam soal ini sejak dulu sampai sekarang.
Profesor Kamali menyebut sejumlah pemikir Islam generasi salaf yang berpendapat bahwa orang yang keluar dari Islam tidaklah diganjar dengan hukuman mati, melainkan mesti terus menerus diberi kesempatan untuk kembali ke Islam, karena selalu ada harapan bahwa mereka akan berubah pikiran dan bertaubat. Sebut saja nama-nama seperti Ibrahim al-Nakha’i , faqih(ahli fiqh) generasi tabi’in; Sufyan al-Tsauri, ahli hadist generasi tabi’ al-tabi’in yang digelari amir al-mu’minin dalam soal hadits dan pengarang buku kompilasi hadist tekenal, Jami’ al-Shaghir dan Jami’ al-Kabir; juga ahli fiqh empat mazhb seperti Imam Sya’roni dan Imam Syarakhsyi. (Lihat Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, hal. 93). Dengan kata lain, ahli-ahli hukum Islam sejak dulu berbeda pendapat tentang soal status orang murtad.
Kedua, hadits di atas memang hadits sahih dan dimuat dalam kitab Sahih Bukhari. Persoalannya, apakah dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa orang murtad harus dihukum mati karena kemurtadannya? Saya kira pendapat semacam ini dengan mudah dibantah kalau kita mengacu pada prinsip-prinsip metodologi dalam hukum Islam (Ushul al-Fiqh).
Siapapun yang mempelajari Ushul al-Fiqh tentu tahu bahwa penetapan hukuman hudud ( hukuman mati termasuk hudud) haruslah didasarkan pada ketentuan nash (teks rujukan) yang qath’iy (bersifat pasti), baik dalam hal pengertian yang dikandungnya (qath’iyyu al-dalalah) maupun dalam hal rangkaian sanad/rantai transmisinya (qath’iyyu al-wurud). Yang memenuhi kedua kriteria tersebut adalah Al-Qur’an dan hadits mutawatir(hadits yang diriwayatkan oleh puluhan orang dalam setiap mata rantai transmisinya).
Nah, hadits tentang hukuman mati terhadap orang murtad sejatinya termasuk dalam kategori hadits ahad (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu atau segelintir orang saja), dan bukan hadits mutawatir.Dan harus diingat, hadits ahad, meskipun sahih statusnya, bukanlah suatu nash yang qath’iy (pasti) melainkan dzanniy (bersifat sangkaan) belaka. Karena itu, ia tidak bisa dijadikan sebagai dasar bagi penetapan hukuman hudud. Memakai hadits ahad sebagai dalil untuk menegakkan hukuman mati terhadap kaum murtad tentunya sangat layak dipertanyakan keabsahannya.
Ketiga, klaim bahwa kaum murtad harus dibunuh karena kemurtadannya jelas bertentangan dengan spirit sejumlah ayat al-Qur’an tentang orang murtad ( seperti QS 3:90, 4:137, dan 2:217). Ayat-ayat ini memang menegaskan bahwa perbuatan murtad adalah suatu dosa yang serius, dan orang murtad akan dihukum Allah di akhirat. Tapi ayat-ayat tersebut sama sekali tidak menyinggung adanya hukuman mati di dunia buat mereka.
Simak misalnya ayat 4:137: “Sesungguhnya orang-orang yang telah menyatakan beriman kemudian menjadi kafir, lalu beriman lagi, lalu menjadi kafir lagi, kemudin bertambah-tambah dalam kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan memberi mereka petunjuk kepada jalan (yang lurus).”
Perhatikan, ayat ini berbicara tentang orang yang bolak-balik murtad. Tapi hukuman yang disebut dalam ayat ini hanya hukuman yang berlaku nanti kalau di akhirat. Tidak disinggung adanya hukuman mati buat mereka di dunia. Logikanya, kalau tindakan murtad serta merta harus diganjar hukuman mati, tentu statemen Al-Qur’an tentang fenomena bolak-balik murtad menjadi tidak bermakna, karena si murtad tentunya sudah dipenggal sejak pertamakali keluar dari Islam. Dari ayat itu kita bisa menyimpulkan, tindakan murtad memanglah suatu dosa besar. Kalau si murtad tidak bertobat sampai meninggal, maka Allah tidak akan memberinya ampunan. Meskipun demikian, si murtad tetap punya hak untuk hidup dan selalu diberi kesempatan untuk bertobat hingga ajal menjemputnya.
Keempat, terdapat sejumlah hadist sahih lain yang bercerita tentang sejumlah orang yang keluar dari Islam pada masa Nabi, tapi beliau tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap mereka. Misalnya, ketika Nabi masih tinggal di Makkah, ada seorang muslim bernama Ubaidillah bin Jahsh ikut serta dalam hijrah sejumlah sahabat Nabi dari Makkah ke Ethiopia. Sesampai di sana, Ubaidillah pindah ke agama Kristen dan tetap tinggal di Ethiopia. Nabi tentu tahu akan hal itu, tapi beliau ternyata tidak membunuhnya.
Contoh kasus lain: ketika di Madinah, ada seorang Arab badui datang menemui Nabi untuk menyatakan masuk Islam. Tapi beberapa saat kemudian, si badui minta supaya bai’at Islam-nya dibatalkan. Pada mulanya Nabi menolak, tapi si badui ngotot, dan akhirnya meninggalkan Madinah untuk kembali ke keyakinan pra-Islamnya. Meskipun demikian, Nabi juga tidak menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Kisah ini termuat dalam Sahih Bukhari:
عن جابر رضى الله عنه: جاء اعرابي الى النبي صلي الله علىه وسلم فباىعه علي الاسلام فجاء من الغدمحموما فقال: اقلني, فابى- ثلاث مرار. فقال: المدىنة كالكىر تنفي خبثها وىنصع طىبها.
Diriwayatkan dari Jabir R.A: seorang badui datang menemui Nabi dan melakukan bai’at masuk Islam. Tapi keesokan harinya dia datang dalam keadaan demam: batalkan bai’at Islamku, tapi Nabi menolak—berulang sampai tiga kali. Akhirnya Nabi berkata: Madinah ibarat alat peniup api, membuang yang kotor dan menjernihkan yang bersih darinya.
Selain itu kita juga harus menyimak pandangan Mahmud Syalthut, pemikir Islam Mesir yang pernah menjadi rektor Universitas al-Azhar pd dekade 1950-an. Dalam kitabnya Al Islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun, Mahmud Syaltut menulis:
“Mengenai hukuman mati untuk perbuatan murtad, para ahli fiqh mendasarkan diri pada hadits yng diriwayatkan Ibn Abbas:” Man baddala dinahu faqtuluhu” (Barang siapa berganti agama maka bunuhlah.) Hadits ini memunculkan pelbagai respon dari ulama. Banyak di antara mereka bersepakat bahwa hukuman hudud tidak bisa didasarkan pada hadits ahad.
Tindakan murtad semata tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi hukuman mati. Faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan si murtad terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara. Kesimpulan ini didasarkan pada banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang melarang paksaan dalam beragama.” (dikutip dalam Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, 1994, hal. 94-95).
Terdapat sekurang-kurangnya dua hal penting yang bisa kita garisbawahi dari pernyataan Mahmud Syalthut tersebut.
Pertama, hadits “barang siapa mengubah agamanya maka bunuhlah” adalah hadits ahad, yang meskipun sahih, tidak bisa digunakan sebagai dasar penetapan hudud, seperti halnya hukuman mati buat kaum murtad.
Kedua, statemen Syalthut “faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan si murtad terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara” sangat penting untuk ditekankan karena statemen itu menegaskan ‘illat (ratio legis, alasan hukum) yang menjadi alasan diterapkannya hukuman mati buat orang murtad. Yakni, bahwa hukuman itu terkait erat dengan adanya unsur agresi dan permusuhan dari si murtad.
Dengan kata lain, kaum murtad memang wajib diperangi kalau kemurtadan mereka dibarengi dengan tindakan memusuhi dan menyerang kaum beriman. Adapun kalau mereka keluar dari Islam tanpa disertai dengan tindakan semacam itu, maka hukuman mati dengan sendirinya tidak berlaku buat mereka. Ini sesuai dengan satu diktum al-qawa’id al-fiqhiyyah (legal maxims): Al-hukmu yaduru ma’a al ‘illati wujudan wa ‘adaman (berlaku atau tidaknya suatu hukum bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat (alasan hukum) yang mendasarinya).

 (Sumber: Menderas Islam)
Akhmad Sahal, aktivis Komunitas Nahdlatul ‘Ulama (KNU) di Amerika Serikat
dan

http://portalsemarang.com/orang-murtad-harus-dibunuh

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel