Si Murtad Halal Untuk di Bunuh ?
Tuesday, 23 June 2015
Benarkah si Murtad halal untuk di bunuh ?
Di
tengah heboh berita Lukman Sardi murtad, ada sejumlah orang
yang menegaskan bahwa orang murtad halal dihukum mati. Mereka mendasarkan diri
pada hadits “Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia (man baddala dinahu
faqtuluhu).” Mereka juga mengklaim bahwa para ulama klasik sepakat tentang
hukuman mati buat si murtad.
Seberapa
meyakinkankah pandangan tersebut? Saya punya sejumlah keberatan:
Pertama,
tidak betul bahwa ahli-ahli hukum Islam (fuqaha) telah bersepakat dalam soal
hukuman mati untuk orang murtad. Telaah yang dilakukan oleh Mohammad Hashim
Kamali, profesor hukum Islam pada International Islamic University of Malaysia,
terhadap literatur fiqh dan hadits tentang hukum apostasy (irtidad) dalam Islam
setidaknya membantah adanya ijma’ (konsensus) para ulama dalam soal ini sejak
dulu sampai sekarang.
Profesor
Kamali menyebut sejumlah pemikir Islam generasi salaf yang berpendapat bahwa
orang yang keluar dari Islam tidaklah diganjar dengan hukuman mati, melainkan
mesti terus menerus diberi kesempatan untuk kembali ke Islam, karena selalu ada
harapan bahwa mereka akan berubah pikiran dan bertaubat. Sebut saja nama-nama
seperti Ibrahim al-Nakha’i , faqih(ahli fiqh) generasi tabi’in; Sufyan
al-Tsauri, ahli hadist generasi tabi’ al-tabi’in yang digelari amir al-mu’minin
dalam soal hadits dan pengarang buku kompilasi hadist tekenal, Jami’ al-Shaghir
dan Jami’ al-Kabir; juga ahli fiqh empat mazhb seperti Imam Sya’roni dan Imam
Syarakhsyi. (Lihat Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, hal.
93). Dengan kata lain, ahli-ahli hukum Islam sejak dulu berbeda pendapat
tentang soal status orang murtad.
Kedua,
hadits di atas memang hadits sahih dan dimuat dalam kitab Sahih Bukhari.
Persoalannya, apakah dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan bahwa orang murtad
harus dihukum mati karena kemurtadannya? Saya kira pendapat semacam ini dengan
mudah dibantah kalau kita mengacu pada prinsip-prinsip metodologi dalam hukum
Islam (Ushul al-Fiqh).
Siapapun
yang mempelajari Ushul al-Fiqh tentu tahu bahwa penetapan hukuman hudud (
hukuman mati termasuk hudud) haruslah didasarkan pada ketentuan nash (teks
rujukan) yang qath’iy (bersifat pasti), baik dalam hal pengertian yang
dikandungnya (qath’iyyu al-dalalah) maupun dalam hal rangkaian sanad/rantai
transmisinya (qath’iyyu al-wurud). Yang memenuhi kedua kriteria tersebut adalah
Al-Qur’an dan hadits mutawatir(hadits yang diriwayatkan oleh puluhan orang
dalam setiap mata rantai transmisinya).
Nah,
hadits tentang hukuman mati terhadap orang murtad sejatinya termasuk dalam
kategori hadits ahad (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu atau segelintir
orang saja), dan bukan hadits mutawatir.Dan harus diingat, hadits ahad,
meskipun sahih statusnya, bukanlah suatu nash yang qath’iy (pasti) melainkan
dzanniy (bersifat sangkaan) belaka. Karena itu, ia tidak bisa dijadikan sebagai
dasar bagi penetapan hukuman hudud. Memakai hadits ahad sebagai dalil untuk
menegakkan hukuman mati terhadap kaum murtad tentunya sangat layak
dipertanyakan keabsahannya.
Ketiga,
klaim bahwa kaum murtad harus dibunuh karena kemurtadannya jelas bertentangan
dengan spirit sejumlah ayat al-Qur’an tentang orang murtad ( seperti QS 3:90,
4:137, dan 2:217). Ayat-ayat ini memang menegaskan bahwa perbuatan murtad
adalah suatu dosa yang serius, dan orang murtad akan dihukum Allah di akhirat.
Tapi ayat-ayat tersebut sama sekali tidak menyinggung adanya hukuman mati di
dunia buat mereka.
Simak
misalnya ayat 4:137: “Sesungguhnya orang-orang yang telah menyatakan beriman
kemudian menjadi kafir, lalu beriman lagi, lalu menjadi kafir lagi, kemudin
bertambah-tambah dalam kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka
dan tidak akan memberi mereka petunjuk kepada jalan (yang lurus).”
Perhatikan,
ayat ini berbicara tentang orang yang bolak-balik murtad. Tapi hukuman yang
disebut dalam ayat ini hanya hukuman yang berlaku nanti kalau di akhirat. Tidak
disinggung adanya hukuman mati buat mereka di dunia. Logikanya, kalau tindakan
murtad serta merta harus diganjar hukuman mati, tentu statemen Al-Qur’an
tentang fenomena bolak-balik murtad menjadi tidak bermakna, karena si murtad
tentunya sudah dipenggal sejak pertamakali keluar dari Islam. Dari ayat itu
kita bisa menyimpulkan, tindakan murtad memanglah suatu dosa besar. Kalau si
murtad tidak bertobat sampai meninggal, maka Allah tidak akan memberinya
ampunan. Meskipun demikian, si murtad tetap punya hak untuk hidup dan selalu
diberi kesempatan untuk bertobat hingga ajal menjemputnya.
Keempat,
terdapat sejumlah hadist sahih lain yang bercerita tentang sejumlah orang yang
keluar dari Islam pada masa Nabi, tapi beliau tidak menjatuhkan hukuman mati
terhadap mereka. Misalnya, ketika Nabi masih tinggal di Makkah, ada seorang muslim
bernama Ubaidillah bin Jahsh ikut serta dalam hijrah sejumlah sahabat Nabi dari
Makkah ke Ethiopia. Sesampai di sana, Ubaidillah pindah ke agama Kristen dan
tetap tinggal di Ethiopia. Nabi tentu tahu akan hal itu, tapi beliau ternyata
tidak membunuhnya.
Contoh
kasus lain: ketika di Madinah, ada seorang Arab badui datang menemui Nabi untuk
menyatakan masuk Islam. Tapi beberapa saat kemudian, si badui minta supaya
bai’at Islam-nya dibatalkan. Pada mulanya Nabi menolak, tapi si badui ngotot,
dan akhirnya meninggalkan Madinah untuk kembali ke keyakinan pra-Islamnya.
Meskipun demikian, Nabi juga tidak menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Kisah
ini termuat dalam Sahih Bukhari:
عن
جابر رضى الله عنه: جاء اعرابي الى النبي صلي الله علىه وسلم فباىعه علي الاسلام
فجاء من الغدمحموما فقال: اقلني, فابى- ثلاث مرار. فقال: المدىنة كالكىر تنفي
خبثها وىنصع طىبها.
Diriwayatkan
dari Jabir R.A: seorang badui datang menemui Nabi dan melakukan bai’at masuk
Islam. Tapi keesokan harinya dia datang dalam keadaan demam: batalkan bai’at
Islamku, tapi Nabi menolak—berulang sampai tiga kali. Akhirnya Nabi berkata:
Madinah ibarat alat peniup api, membuang yang kotor dan menjernihkan yang
bersih darinya.
Selain
itu kita juga harus menyimak pandangan Mahmud Syalthut, pemikir Islam Mesir
yang pernah menjadi rektor Universitas al-Azhar pd dekade 1950-an. Dalam
kitabnya Al Islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun, Mahmud Syaltut menulis:
“Mengenai
hukuman mati untuk perbuatan murtad, para ahli fiqh mendasarkan diri pada
hadits yng diriwayatkan Ibn Abbas:” Man baddala dinahu faqtuluhu” (Barang siapa
berganti agama maka bunuhlah.) Hadits ini memunculkan pelbagai respon dari
ulama. Banyak di antara mereka bersepakat bahwa hukuman hudud tidak bisa didasarkan
pada hadits ahad.
Tindakan
murtad semata tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi hukuman mati. Faktor
utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan si
murtad terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya
penghasutan melawan agama dan negara. Kesimpulan ini didasarkan pada banyaknya
ayat-ayat al-Qur’an yang melarang paksaan dalam beragama.” (dikutip dalam
Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, 1994, hal. 94-95).
Terdapat
sekurang-kurangnya dua hal penting yang bisa kita garisbawahi dari pernyataan
Mahmud Syalthut tersebut.
Pertama,
hadits “barang siapa mengubah agamanya maka bunuhlah” adalah hadits ahad, yang
meskipun sahih, tidak bisa digunakan sebagai dasar penetapan hudud, seperti
halnya hukuman mati buat kaum murtad.
Kedua,
statemen Syalthut “faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya
agresi dan permusuhan si murtad terhadap kaum beriman, dan kebutuhan untuk
menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara” sangat
penting untuk ditekankan karena statemen itu menegaskan ‘illat (ratio legis,
alasan hukum) yang menjadi alasan diterapkannya hukuman mati buat orang murtad.
Yakni, bahwa hukuman itu terkait erat dengan adanya unsur agresi dan permusuhan
dari si murtad.
Dengan
kata lain, kaum murtad memang wajib diperangi kalau kemurtadan mereka dibarengi
dengan tindakan memusuhi dan menyerang kaum beriman. Adapun kalau mereka keluar
dari Islam tanpa disertai dengan tindakan semacam itu, maka hukuman mati dengan
sendirinya tidak berlaku buat mereka. Ini sesuai dengan satu diktum al-qawa’id
al-fiqhiyyah (legal maxims): Al-hukmu yaduru ma’a al ‘illati wujudan wa ‘adaman
(berlaku atau tidaknya suatu hukum bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat (alasan
hukum) yang mendasarinya).
(Sumber: Menderas Islam)
Akhmad Sahal, aktivis
Komunitas Nahdlatul ‘Ulama (KNU) di Amerika Serikat
dan
http://portalsemarang.com/orang-murtad-harus-dibunuh