Islam Nusantara Proyek Liberalisasi
Friday, 19 June 2015
Islam Nusantara
Akhir-akhir ini banyak yang membahas tentang islam nusantara, apakah itu islam nusantara?
Yusron****@gmail.com
Jawab: 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, 
Istilah islam nusantara, menjadi isu yang mulai ramai dibicarakan. 
Sejalan dengan peran para budayawan dan orang-orang liberal di 
Indonesia. Dan nampaknya ini hendak dijadikan sebagai gerakan. Di UIN 
jakarta sendiri telah diselenggarakan festival budaya islam nusantara. 
Bahkan ada yang mengatakan, fenomena membaca al-Quran dengan langgam 
jawa, merupakan bagian dari proyek islam nusantara itu.
Mengingat ini istilah yang asing bagi masyarakat, kita perlu tahu, 
sebenarnya apa maksud mereka dengan istilah islam nusantara itu. Apakah 
maksudnya agama islam yang dibongkar pasang, diganti sana-sini, sehingga
 menjadi agama sendiri yang berbeda sama sekali dengan ajaran islam Nabi
 Muhammad? Seperti halnya istilah ‘kristen jawa’ yang berbeda sama 
sekali dengan ajaran kristen lainnya. Atau islam seperti apa?
Di sana ada sebuah tulisan, yang dirilis oleh web Fakultas Adab &
 Humaniora UIN jakarta. Dalam tulisan itu, dikutip definisi istilah 
‘islam nusantara’ menurut Azyumardi Azra. Dia mengatakan,
“Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi,
 kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal 
dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam 
Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) 
menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam 
Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi 
harapan renaisans peradaban Islam global.”
Yah… anda boleh baca sambil tutup mata sebelah. Paham gak paham, anggap saja paham. Ini bahasa ‘wong pinter’
 gaya masyarakat UIN. Kepentingan kita, keterangan Pak Azra dijadikan 
sebagai acuan. Karena beliau bagian dari pelaksana inti proyek islam 
nusantara itu.
Kita bisa perhatikan, definisi islam nusantara menurut Pak Azra di bagian pertama,
Islam Nusantara adalah Islam distingtif, artinya islam yang unik. Tentu saja memiliki ciri membedakannya dengan lainnya.
Sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi (disesuaikan 
keadaan pribumi) dan vernakularisasi (disesuaikan kedaerahan) Islam 
universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia.
Dari pengertian Pak Azra, berarti islam ada dua:
(1) islam universal dan
(2) islam yang sudah mengalami penyesuaian dengan budaya dan realitas sosial. Yang mereka istilahkan dengan islam nusantara itu.
Jika yang dimaksud islam universal adalah islam ajaran Nabi Muhammad 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang itu diterima oleh seluruh dunia, 
berarti islam nusantara yang menjadi gagasan para tokoh uin itu, berbeda
 dengan islam ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selanjutnya, Pak Azra mengaku bahwa islam nusantara yang dia maksud, 
penyatuan kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali. 
Tentu saja, ini terlalu berlebihan. Anggap saja, masalah tata cara 
membaca al-Quran masuk dalam kajian fiqh, pernahkah ada fatwa dalam fiqh
 syafii yang membolehkan membaca al-Quran dengan lagu macapat?
Lebih dari itu, sebenarnya UIN jakarta, sangat terengaruh dengan 
pemikiran pemikian liberal Harun Nasution. Posisi Pak Harun yang 
dianggap pencetus pemikiran islam baru, sangat menentang kalam Asy’ari. 
Karena yang ingin dia kembangkan adalah pemikiran mu’tazilah. Pak Harun 
sendiri pernah menyatakan, “Bila umat Islam ingin maju, maka kita harus menggantikan paham Asy’ariyah yang telah mendarah daging menjadi paham Mu’tazilah.” (Teologi Pembaruan, Fauzan S, 2004, hlm. 264)
Karena itulah, Pak Harun dikenal pencetus Neo-Mu’tazilah di Indonesia.
Ketika uin jakarta mengaku mengembangkan ajaran ilmu kalam asy’ari, 
jelas ini terlalu jauh. Hakekatnya, mereka sedang mengembangkan 
pemikiran mu’tazilah.
Memecah Belah Umat
Kita tinggalkan kajian masalah definisi di atas.
Karena jika kita perhatikan, pemikiran ini jelas hendak merusak islam
 besar-besaran. Dan tidak jauh jika kita katakan, memecah belah kaum 
muslimin.
Budaya di nusantara bagi Indonesia, sangat beragam. Aceh jauh berbeda
 dengan jawa. Kalimantan, jauh beda dengan Papua. Ketika islam nusantara
 dipahami sebagai islam hasil akulturasi budaya lokal, apa yang bisa 
anda bayangkan ketika islam ini disinkronkan dengan budaya papua. 
Sehingga tercipta sebuah desain pakaian muslim, hasil interaksi antara islam dan budaya koteka. Tentu saja, ini akan sangat ditolak oleh masyarakat jawa atau lainnya.
Ingatan kita masih sangat segar terkait kasus shalat dengan bahasa 
jawa, yang diajarkan di Pesantren I’tikaf Ngadi Lelaku, Malang. Spontan 
memancing emosi banyak masyarakat. Jika sampai hal ini diwujudkan, yang 
terjadi bukan renaisans peradaban Islam, tapi malah mengacaukan 
masyarakat.
Termasuk ajaran sebagian etnis Sasak, shalat 3 waktu. Apakah bisa 
disebut islam nusantara? Jika sampai ini dilegalkan, berarti menolak 
keberadaan 2 shalat sisanya.
Wahyu Menyesuaikan Budaya?
Hingga kini, banyak orang liberal menuduh, bahwa tujuan terbesar dakwah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 adalah untuk arabisasi dunia. Menerapkan hegemoni quraisy di alam raya.
 Sehingga, ketika ada gerakan dakwah di tengah masyarakat, mereka sebut,
 arabisasi.
Inti masalahnya, orang liberal lemah dalam membedakan antara budaya 
dan ajaran agama. Sehingga, di manapun ajaran agama itu disampaikan, 
menurut orang liberal, itu sedang memasarkan budaya arab.
Kita bisa telusuri, sebenarnya yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu meng-arab-kan islam ataukah meng-islam-kan arab??.
Jika kita menggunakan teori orang liberal, berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-arabkan islam. Artinya, islam sudah ada, kemudian oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarnai dengan budaya arab.
Anda layak untuk geleng kepala..
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah 
masyarakat yang telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk.
 Ketika beliau datang, beliau mengislamkan budaya-budaya itu. Dalam 
arti, mengarahkan pada budaya yang baik, dan membuang budaya jahat. 
Bukan disinkronkan, kemudian islam menyesuaikan semua budaya mereka.
Kita bisa simak, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan tentang budaya buruk jahiliyah, beliau mengatakan,
أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ
“Katahuilah, segala urusan jahiliyah, terkubur di bawah telapak kakiku.” (HR. Muslim 3009)
Ini salah satu bukti, bagaimana upaya beliau menolak setiap tradisi jahiliyah yang bertentanagn dengan wahyu.
Dari sini kita mendapat pelajaran, bahwa budaya harus menyesuaikan islam. Bukan islam yang menyesuaikan budaya.
Islam Agama Menyeluruh
Islam agama yang unversal. Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
 untuk menyebarkan islam kepada seluruh umat manusia. Sehingga ajaran 
islam sedunia adalah sama. Karena sumbernya sama. Ketika ada orang yang 
memiliki kerangka ajaran yang berbeda, berarti itu bukan islam ajaran 
beliau.
Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Aku tidak mengutus kamu, melainkan untuk umat manusia 
seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi 
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Dalam tafsirnya, al-Hafidz Ibnu Katsir menfsirkan ayat ini, bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
 diutus untuk seluruh makhluk. Semua yang mukallaf. Baik orang arab 
maupun luar arab. Yang paling mulia diantara mereka, adalah yang paling 
taat kepada Allah. (Tafsir Ibn Katsir, 6/518).
Saya kira, tidak ada orang muslim yang ingin tidak dianggap sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam arti khusus, gara-gara dia punya islam yang berbeda dengan islam beliau.
Adat Bisa Menjadi Acuan Hukum
Ada satu kaidah dalam ilmu fiqh,
العادة محكَّمة
“Adat bisa dijadikan acuan hukum.”
Kaidah ini termasuk kaidah besar dalam fiqh (qawaid fiqhiyah kubro).
 Kaidah ini menjelaskan bahwa adat dan tradisi masyarakat dalam 
pandangan syariat bisa menjadi penentu untuk hukum-hukum terkait 
muamalah sesama manusia. Selama di sana tidak ada dalil tegas yang 
bertentangan dengan adat tersebut. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh 
al-Kulliyah, hlm. 276).
Hanya saja di sana para ulama fiqh memberikan batasan, ketika adat bertentangan dengan dalil syariat,
Pertama, jika ada adat yang sesuai dengan 
dalil syariat, wajib untuk diperhatikan dan diterapkan. Karena 
mempraktekkan hal ini hakekatnya mempraktekkan dalil dan bukan semata 
adat. Contoh: memuliakan tamu.
Kedua, jika adat bertentangan dengan dalil syariat, ada beberapa rincian keadaan sebagai berikut,
- Adat bertentangan dengan dalil dari segala sisi. Menggunakan adat otomatis akan meninggalkan dalil. Dalam kondisi ini adat sama sekali tidak berlaku. Misalnya: tradisi koperasi simpan pinjam berbunga.
 - Adat bertentangan dengan dalil dalam sebagian aspek. Dalam kondisi ini, bagian yang bertentanga dengan dalil, wajib tidak diberlakukan. Misalnya: Dropshipping dengan cara terutang.
 - Dalil yang bertentangan dengan Urf, dibatasi dengan latar belakang adat yang terjadi ketika itu. Misalnya, larangan membiarkan api penerangan menyala di malam hari. Atau larangan minum air dari mulut botol.
 
Contoh Penerapan Kaidah
Allah mewajibkan suami untuk menafkahi istri. Tentang ukuran nafkah, 
dikembalikan kepada keadaan masyarakat, berapa nilai uang nafkah wajar 
untuk istri.
Islam mewajibkan kita untuk bersikap baik terhadap tetangga. 
Bagaimana batasan sikap baik itu, dikembalikan kepada standar 
masyarakat. dst.
Gagasan Islam Nusantara Vs Kaidah Fiqh
Apakah kaidah fiqh ini yang hendak dikembangkan dalam proyek “Islam Nusantara.”?
Dugaan kuat kami, tidak untuk ini. Islam nusantara, bukan dalam rangka memahamkan masyarakat tentang kaidah fiqh di atas.
Karena seperti yang dinyatakan Pak Azra, beliau menyebut islam 
nusantara sebagai islam yang distingtif, islam unik. Mereka anggap itu 
gagasan baru dari mereka, bagi muslim Indonesia. Makanya, kita tidak 
pernah mendengar istilah ini dikobarkan, di masa pemerintahan SBY. 
Proyek ini baru disemarakkan di masa pemerintahan sekarang.
Padahal kaidah fiqh di atas, bukan sesuatu yang baru. Dan untuk 
memahamkan kadiah ini, tidak butuh orang liberal. Kaidah ini telah final
 dibahas para ulama. Jika orang liberal ngaku hendak membumikannya, itu 
hanya klaim. Mengelabuhi masyarakat abangan untuk memasarkan pemikiran 
mu’tazilah.
Benar apa yang Allah firmankan, salah satu diantara upaya setan untuk
 menggoda manusia adalah dengan membisikkan kata-kata indah, untuk 
menjadi alasan pembenar bagi kesesatan mereka,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ
 الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ 
غُرُورًا
“Demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap nabi, yaitu 
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, mereka saling 
membisikkan kepada yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk 
menipu (manusia).” (QS. al-An’am: 112)
Semoga kita tidak termasuk orang yang tertipu propaganda mereka.
Allahu a’lam
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)