Pacaran Menurut Islam
Friday, 5 June 2015
Soal pacaran
di zaman sekarang tampaknya bukan menjadi hal yang mengherankan di kalngan
kaula muda.
Maraknya kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair
lagu adalah factor utama yang mempengaruhi fenomena tersebut. Bahkan sebagian
besar para remaja menganggap pacaran layaknya kebutuhan primer seperti makan
yang apabila tidak di konsumsi akan menimbulkan kematian. lebay ya ??? ya
memang seprti itulah faktanya pada zaman sekarang. Itulah yang menyebabkan para
kaula muda sekarang menjadi lebay-lebay..
Selama ini
tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun
setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki
dan wanita tanpa nikah.
Kalau
ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab
biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero
seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta
monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun
mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai
hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah
demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai
alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran
akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang
berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa)
banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar
terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman
dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap
untuk pacaran itu ?
Atas dasar
itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas
amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran
akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang
berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam
hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah
min dzalik !
Sudah banyak
gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah
terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam
sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya
memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan
sebagai apa yang dikatakan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara
kamu meminang seorang wanita, andai kata dia dapat melihat wanita yang akan
dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam
juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah,
karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk
bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap
larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana
yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya:
"Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan
seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari
Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata
merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena
takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia
dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin
juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan
argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu
Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci
karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah,
maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya."Tarohlah mereka itu
adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus
(terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita
juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi
"perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits
yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah
adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka
itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka
merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya)
ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam
arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang
lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena
Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan
ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya
terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu
keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan
muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat
anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.
Dikutip dari: http://www.indomedia.com/bpost/012000/24/opini/resensi.htm
http://untungsupriyanto.tripod.com/index.html