Jangan Salahkan Konsep Poligami
Friday, 8 May 2015
Jangan salah
konsep poligami, salahkanlah oknumnya, karena nabi Muhammad SAW sendiri
melakukan praktik poligami tapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku di
agama Islam.
Nabi Muhammad,
nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa
hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah
istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa
wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati,
kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).
Dalam kitab
Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah
upaya transformasi sosial. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang
diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam
tradisi feudal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang
perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat
beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya,
Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan
menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.
Ketika Nabi
melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan,
mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan
Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin
al-Harits, dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan
poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Allah Azza wa Jalla yang menciptakan
manusia, maka Dia jugalah yang paling mengetahui mashlahat (perkara yang
membawa kepada kebaikan) bagi manusia, dibandingkan manusia itu sendiri. Dia
Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan Maha Kasih Sayang kepada hamba-hambaNya.
Allah berfirman :
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?" [Al Mulk/67:14]
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?" [Al Mulk/67:14]
Berikut Syarat dan Ketentuan Poligami
1. Berlaku Adil Terhadap Para Isteri Dalam
Pembagian Giliran Dan Nafkah.
Allah Ta'ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" [An-Nisaa`/4:3]
Firman Allah pada ayat di atas: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya", ini menunjukkan adanya syarat berlaku adil terhadap para isteri. Yang dimaksud berlaku adil di sini, yaitu berlaku adil dalam perkara pembagian giliran dan nafkah. Adapun dalam hal kecintaan, syahwat, dan jima', maka tidak wajib berlaku adil. Karena hal ini tidak mampu dilakukan oleh manusia.
Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, jika kamu takut tidak berbuat adil di antara isteri-isteri, sebagaimana firman Allah.
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
[Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. –an-Nisaa` ayat 129-], maka barangsiapa takut dari hal itu, hendaklah dia membatasi dengan satu (isteri) atau terhadap budak-budak wanita, karena tidak wajib pembagian di antara mereka (budak-budak itu), tetapi disukai, barangsiapa melakukan, maka itu baik; dan barangsiapa tidak melakukan, maka tidak ada dosa.[1]
Ibnu Qudamah al Maqdisi rahimahullah berkata: "Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa tidak wajib menyamakan di dalam jima' di antara para isteri. Karena jima' adalah jalan bagi syahwat dan kecondongan, tidak ada jalan untuk menyamakan mereka di dalam hal itu, karena hati seorang suami terkadang condong kepada salah satu isteri tanpa yang lainnya". [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Alhamdulillah, wajib atas suami berlaku adil di antara dua isteri dengan kesepakatan muslimin. Dan di dalam Sunan Empat, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
"Barangsiapa memiliki dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah satu dari keduanya (yakni tidak adil, Pen.), (maka) dia akan datang pada hari Kiamat, sedangkan lambungnya miring" [3]
Dengan demikian, seorang suami wajib berlaku adil di dalam pembagian. Jika dia bermalam pada satu isterinya semalam atau dua malam atau tiga malam, maka dia juga bermalam pada isteri yang lain seukuran itu. Dia tidak boleh melebihkan salah satu dari keduanya dalam pembagian. Namun, jika dia lebih mencintai salah satunya, dan lebih banyak berjima' dengannya, maka tidak ada dosa baginya, dan tentang inilah turun firman Allah:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" [An-Nisaa` ayat 129] - yaitu dalam hal kecintaan dan jima'.
Dalam Sunan Empat, dari 'Aisyah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membagi dan berbuat adil, lalu beliau berdoa:
"اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ" قَالَ أَبُو دَاوُد يَعْنِي الْقَلْبَ
"Wahai Allah, ini pembagianku dalam perkara yang aku mampu, maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau mampu, sedangkan aku tidak mampu". Abu Dawud mengatakan: "Yang beliau maksud adalah hati".[4]
Syamsul Haq al 'Azhim rahimahullah berkata: "Hadits ini sebagai dalil wajibnya suami untuk menyamakan pembagian di antara isteri-isterinya, dan haram atasnya jika) cenderung kepada salah satu dari mereka. Allah Ta'ala berfirman:
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
"[Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)] – [An-Nisaa` ayat 129], yang dimaksudkan adalah cenderung dalam pembagian dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena ini termasuk perkara yang tidak dikuasai oleh hamba".[6]
Dalam terjemahan al Qur`an yang diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia, disebutkan pada catatan kaki sebagai berikut: [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja".[7]
Adil dalam pembagian giliran dan nafkah ini termasuk yang dimaksudkan oleh firman Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
"Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" [An-Nisaa/4`:19]
2. Kemampuan Melakukan Poligami.
- Kemampuan Memberi Nafkah.
Ketika seorang laki-laki menikah, maka dia menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya. Di antaranya adalah nafkah. Dengan demikian seorang laki-laki yang melakukan poligami, maka kewajibannya tersebut bertambah dengan sebab bertambah isterinya.
Secara bahasa, yang dimaksud nafkah adalah harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.[8]
Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as-Sunnah, dan Ijma'.
Dalil dari al-Kitab, di antaranya dapat disebutkan :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf." [Al Baqarah/2:233]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat “dan kewajiban ayah (si anak) memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu sesuai dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu itu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya, kaya, sedang, dan miskin. [9]
Sedangkan dalil dari as-Sunnah, dapat disebutkan antara lain:
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلاَ تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
"Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku berkata: “Wahai, Rasulullah. Apa hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,"Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud no. 2142, Ibnu Majah no. 1850. Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”.]
Imam Ibnul-Qaththan rahimahullah (wafat th 628 H) menukilkan ijma' tentang masalah ini. Beliau berkata: “Ahlul ilmi telah sepakat kewajiban nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)”.[10]
Yang termasuk nafkah, yaitu suami memberikan tempat tinggal atau rumah bagi isteri-isterinya. Asalnya, satu rumah untuk satu isteri, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Allah Ta'ala berfirman:
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan" [Al Ahzab/33:53]
Dalam ayat ini Allah menyebutkan rumah-rumah Nabi dengan bentuk banyak, bukan satu rumah saja. Maka dari sini kita mengetahui, bahwa menempati satu rumah merupakan hak bagi setiap isteri, sebagaimana para isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Selain itu, seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Sedangkan jika berkumpul bersama, seorang wanita tidak akan aman dari terbukanya aurat di antara mereka.
Al Hasan al Bashri rahimahullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengumpulkan dua isteri di dalam satu rumah. Beliau menjawab: "Mereka (Salaf) membenci wajs. Yaitu seorang suami menggauli salah satu isterinya, sedangkan yang lain melihatnya".[11]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Jika seorang laki-laki memiliki banyak isteri, dia tidak boleh mengumpulkan mereka di dalam satu rumah, kecuali dengan ridha keduanya, atau ridha semua isterinya. Karena, hal itu dapat memicu timbulnya permusuhan (di kalangan) mereka. Dan seorang suami, tidak boleh menggauli salah satu isterinya dengan disaksikan oleh yang lainnya, karena menunjukkan kurangnya adab dan buruknya pergaulan". [12]
Dengan demikian, seorang laki-laki tidak boleh mengumpulkan lebih dari satu isteri di dalam satu rumah, kecuali dengan izin dan ridha mereka, maka itu tidaklah mengapa.
Karena menanggung nafkah merupakan kewajiban suami. Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang belum memiliki kemampuan harta untuk menikah, agar menjaga kehormatan mereka, sampai Allah memberikan karunia-Nya. Allah berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya" [An-Nur/24:33]
- Kemampuan Menjaga Kehormatan Isteri-Isterinya.
Selain kebutuhan nafkah, wanita juga memiliki kebutuhan biologis. Sehingga seorang laki-laki yang berpoligami, ia harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis isteri-isterinya. Jika tidak, hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai jama'ah para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat" [HR Bukhari, no. 5065, Muslim, no. 1400]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan pembicaraan kepada para pemuda, karena umumnya, pada diri mereka terdapat kekuatan yang mendorong kepada nikah. (Ini) berbeda dengan orang tua, walaupun maknanya juga diperhatikan jika sebab itu didapati pada orang-orang
Allah Ta'ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" [An-Nisaa`/4:3]
Firman Allah pada ayat di atas: "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya", ini menunjukkan adanya syarat berlaku adil terhadap para isteri. Yang dimaksud berlaku adil di sini, yaitu berlaku adil dalam perkara pembagian giliran dan nafkah. Adapun dalam hal kecintaan, syahwat, dan jima', maka tidak wajib berlaku adil. Karena hal ini tidak mampu dilakukan oleh manusia.
Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, jika kamu takut tidak berbuat adil di antara isteri-isteri, sebagaimana firman Allah.
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
[Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. –an-Nisaa` ayat 129-], maka barangsiapa takut dari hal itu, hendaklah dia membatasi dengan satu (isteri) atau terhadap budak-budak wanita, karena tidak wajib pembagian di antara mereka (budak-budak itu), tetapi disukai, barangsiapa melakukan, maka itu baik; dan barangsiapa tidak melakukan, maka tidak ada dosa.[1]
Ibnu Qudamah al Maqdisi rahimahullah berkata: "Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa tidak wajib menyamakan di dalam jima' di antara para isteri. Karena jima' adalah jalan bagi syahwat dan kecondongan, tidak ada jalan untuk menyamakan mereka di dalam hal itu, karena hati seorang suami terkadang condong kepada salah satu isteri tanpa yang lainnya". [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Alhamdulillah, wajib atas suami berlaku adil di antara dua isteri dengan kesepakatan muslimin. Dan di dalam Sunan Empat, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
"Barangsiapa memiliki dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah satu dari keduanya (yakni tidak adil, Pen.), (maka) dia akan datang pada hari Kiamat, sedangkan lambungnya miring" [3]
Dengan demikian, seorang suami wajib berlaku adil di dalam pembagian. Jika dia bermalam pada satu isterinya semalam atau dua malam atau tiga malam, maka dia juga bermalam pada isteri yang lain seukuran itu. Dia tidak boleh melebihkan salah satu dari keduanya dalam pembagian. Namun, jika dia lebih mencintai salah satunya, dan lebih banyak berjima' dengannya, maka tidak ada dosa baginya, dan tentang inilah turun firman Allah:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (yakni dalam perkara batin, Pen.) di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" [An-Nisaa` ayat 129] - yaitu dalam hal kecintaan dan jima'.
Dalam Sunan Empat, dari 'Aisyah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membagi dan berbuat adil, lalu beliau berdoa:
"اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ" قَالَ أَبُو دَاوُد يَعْنِي الْقَلْبَ
"Wahai Allah, ini pembagianku dalam perkara yang aku mampu, maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau mampu, sedangkan aku tidak mampu". Abu Dawud mengatakan: "Yang beliau maksud adalah hati".[4]
Syamsul Haq al 'Azhim rahimahullah berkata: "Hadits ini sebagai dalil wajibnya suami untuk menyamakan pembagian di antara isteri-isterinya, dan haram atasnya jika) cenderung kepada salah satu dari mereka. Allah Ta'ala berfirman:
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
"[Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)] – [An-Nisaa` ayat 129], yang dimaksudkan adalah cenderung dalam pembagian dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena ini termasuk perkara yang tidak dikuasai oleh hamba".[6]
Dalam terjemahan al Qur`an yang diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia, disebutkan pada catatan kaki sebagai berikut: [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja".[7]
Adil dalam pembagian giliran dan nafkah ini termasuk yang dimaksudkan oleh firman Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
"Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" [An-Nisaa/4`:19]
2. Kemampuan Melakukan Poligami.
- Kemampuan Memberi Nafkah.
Ketika seorang laki-laki menikah, maka dia menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya. Di antaranya adalah nafkah. Dengan demikian seorang laki-laki yang melakukan poligami, maka kewajibannya tersebut bertambah dengan sebab bertambah isterinya.
Secara bahasa, yang dimaksud nafkah adalah harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.[8]
Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as-Sunnah, dan Ijma'.
Dalil dari al-Kitab, di antaranya dapat disebutkan :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf." [Al Baqarah/2:233]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat “dan kewajiban ayah (si anak) memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu sesuai dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu itu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya, kaya, sedang, dan miskin. [9]
Sedangkan dalil dari as-Sunnah, dapat disebutkan antara lain:
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلاَ تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
"Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku berkata: “Wahai, Rasulullah. Apa hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,"Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud no. 2142, Ibnu Majah no. 1850. Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”.]
Imam Ibnul-Qaththan rahimahullah (wafat th 628 H) menukilkan ijma' tentang masalah ini. Beliau berkata: “Ahlul ilmi telah sepakat kewajiban nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)”.[10]
Yang termasuk nafkah, yaitu suami memberikan tempat tinggal atau rumah bagi isteri-isterinya. Asalnya, satu rumah untuk satu isteri, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Allah Ta'ala berfirman:
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan" [Al Ahzab/33:53]
Dalam ayat ini Allah menyebutkan rumah-rumah Nabi dengan bentuk banyak, bukan satu rumah saja. Maka dari sini kita mengetahui, bahwa menempati satu rumah merupakan hak bagi setiap isteri, sebagaimana para isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Selain itu, seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Sedangkan jika berkumpul bersama, seorang wanita tidak akan aman dari terbukanya aurat di antara mereka.
Al Hasan al Bashri rahimahullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengumpulkan dua isteri di dalam satu rumah. Beliau menjawab: "Mereka (Salaf) membenci wajs. Yaitu seorang suami menggauli salah satu isterinya, sedangkan yang lain melihatnya".[11]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Jika seorang laki-laki memiliki banyak isteri, dia tidak boleh mengumpulkan mereka di dalam satu rumah, kecuali dengan ridha keduanya, atau ridha semua isterinya. Karena, hal itu dapat memicu timbulnya permusuhan (di kalangan) mereka. Dan seorang suami, tidak boleh menggauli salah satu isterinya dengan disaksikan oleh yang lainnya, karena menunjukkan kurangnya adab dan buruknya pergaulan". [12]
Dengan demikian, seorang laki-laki tidak boleh mengumpulkan lebih dari satu isteri di dalam satu rumah, kecuali dengan izin dan ridha mereka, maka itu tidaklah mengapa.
Karena menanggung nafkah merupakan kewajiban suami. Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang belum memiliki kemampuan harta untuk menikah, agar menjaga kehormatan mereka, sampai Allah memberikan karunia-Nya. Allah berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya" [An-Nur/24:33]
- Kemampuan Menjaga Kehormatan Isteri-Isterinya.
Selain kebutuhan nafkah, wanita juga memiliki kebutuhan biologis. Sehingga seorang laki-laki yang berpoligami, ia harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis isteri-isterinya. Jika tidak, hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai jama'ah para pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat" [HR Bukhari, no. 5065, Muslim, no. 1400]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan pembicaraan kepada para pemuda, karena umumnya, pada diri mereka terdapat kekuatan yang mendorong kepada nikah. (Ini) berbeda dengan orang tua, walaupun maknanya juga diperhatikan jika sebab itu didapati pada orang-orang